Sebenarnya ini adalah tulisan lama saya,
yaitu sekitar tahun 2010, tahun ketika album studio keempat Linkin Park,
A Thousand Suns, diluncurkan. Tapi draft review saya sempat hilang dan
baru ditemukan kembali sekitar sebulan yang lalu. But it's okay. Izinkan
saya menerbitkan review lama saya tentang album "A Thousand Suns". I
hope you enjoy it. Well, here we go.
"We were not making an album". Begitulah kalimat yang mengawali introduction dalam album A Thousand Suns ini. Selama 2 tahun di dapur rekaman, dan Linkin Park mengatakan bahwa mereka tidak sedang membuat album.
Kemudian mereka melanjutkan: "For months, we'd been destroying and rebuilding our band. The experiments that resulted filled the studio hard drive with diverse, abstract sounds, amorphous echoes, cacophonous samples, and handmade staccato merged into wandering elusive melody. Each track felt like a hallucination."
Dan hal itulah yang saya temukan di album ini, "amorphous echoes and cacophonous samples can be found throughout the album".
Simak saja dua buah intro track yang mengawali album ini: 'The Requiem' dan 'The Radiance'. Linkin Park juga menambah tiga filler tracks yang berisikan suara bising dan menggema itu di lagu 'Empty Spaces', 'Jornada Del Muerto', dan 'Fallout'. Selain itu, lagu-lagu semacam 'Burning In The Skies', 'Waiting For The End', 'Wretches And Kings', dan juga lagu yang menjadi single pertama dari album ini yaitu 'The Catalyst', juga patut disimak. Dan bila merindukan vokal screaming khas Chester Bennington, silahkan menyimak lagu 'Blackout' di mana vokal Chester dikombinasikan dengan sound-sound bising itu. Dan saya sangat menyukai track terakhir yaitu 'The Messenger' dimana saya cukup dibuat terkejut dengan aksi akustik yang dibuat Linkin Park, karena sebelumnya saya memang belum pernah mendengar Linkin Park bermain akustik.
Walaupun album ini dipenuhi dengan sound-sound bising khas electronic hasil kerja Joseph Hahn sebagai turntablist, sound-sound khas Linkin Park sepenuhnya pun masih bisa ditemukan. Walaupun memang bisa dibilang album ini 'melemah' dari album-album Linkin Park sebelumnya, album ini adalah sebuah album yang well-made dan well-crafted. Sound-sound yang ada di album ini diproduksi dengan baik dan dibuat dengan tidak asal-asalan.
Saya juga menyukai speech dari tokoh-tokoh politik USA semacam Martin Luther King Jr (di lagu Wisdom, Justice, And Love), Robert Oppenheimer (di lagu The Radiance), dan Mario Savio (di lagu Wretches And Kings) yang dimasukkan ke dalam lirik album ini yang membuat album ini terasa lebih politis.
Sebagai fans Linkin Park sejak album pertama mereka, saya cukup memuji perubahan yang mereka lakukan di album ini. Mike Shinoda, saat membuat album Linkin Park sebelumnya yaitu Minutes To Midnight (2007), telah menyatakan bahwa mereka telah lelah dengan sound yang mereka buat pada dua album pertama mereka. Mungkin fans yang lain kecewa dengan perubahan drastis yang terjadi dari album Meteora ke Minutes to Midnight dan kemudian A Thousand Suns. Tapi, perubahan tersebut bisa dianggap sebagai proses kedewasaan Linkin Park dalam bermusik.
Saya sendiri menganggap album Minutes To Midnight dan A Thousand Suns ini sebagai album-album perubahan dari Linkin Park, di mana mereka lebih membuat sesuatu yang berseni. Di mana Minutes To Midnight sebagai awal perubahan dan kemudian perubahan itu dikembangkan di A Thousand Suns ini.
If Linkin Park said that this is not an album, i dare to say that this is an album and also a piece of art. Well-made and well-crafted album. Way to go Linkin Park!
"We were not making an album". Begitulah kalimat yang mengawali introduction dalam album A Thousand Suns ini. Selama 2 tahun di dapur rekaman, dan Linkin Park mengatakan bahwa mereka tidak sedang membuat album.
Kemudian mereka melanjutkan: "For months, we'd been destroying and rebuilding our band. The experiments that resulted filled the studio hard drive with diverse, abstract sounds, amorphous echoes, cacophonous samples, and handmade staccato merged into wandering elusive melody. Each track felt like a hallucination."
Dan hal itulah yang saya temukan di album ini, "amorphous echoes and cacophonous samples can be found throughout the album".
Simak saja dua buah intro track yang mengawali album ini: 'The Requiem' dan 'The Radiance'. Linkin Park juga menambah tiga filler tracks yang berisikan suara bising dan menggema itu di lagu 'Empty Spaces', 'Jornada Del Muerto', dan 'Fallout'. Selain itu, lagu-lagu semacam 'Burning In The Skies', 'Waiting For The End', 'Wretches And Kings', dan juga lagu yang menjadi single pertama dari album ini yaitu 'The Catalyst', juga patut disimak. Dan bila merindukan vokal screaming khas Chester Bennington, silahkan menyimak lagu 'Blackout' di mana vokal Chester dikombinasikan dengan sound-sound bising itu. Dan saya sangat menyukai track terakhir yaitu 'The Messenger' dimana saya cukup dibuat terkejut dengan aksi akustik yang dibuat Linkin Park, karena sebelumnya saya memang belum pernah mendengar Linkin Park bermain akustik.
Walaupun album ini dipenuhi dengan sound-sound bising khas electronic hasil kerja Joseph Hahn sebagai turntablist, sound-sound khas Linkin Park sepenuhnya pun masih bisa ditemukan. Walaupun memang bisa dibilang album ini 'melemah' dari album-album Linkin Park sebelumnya, album ini adalah sebuah album yang well-made dan well-crafted. Sound-sound yang ada di album ini diproduksi dengan baik dan dibuat dengan tidak asal-asalan.
Saya juga menyukai speech dari tokoh-tokoh politik USA semacam Martin Luther King Jr (di lagu Wisdom, Justice, And Love), Robert Oppenheimer (di lagu The Radiance), dan Mario Savio (di lagu Wretches And Kings) yang dimasukkan ke dalam lirik album ini yang membuat album ini terasa lebih politis.
Sebagai fans Linkin Park sejak album pertama mereka, saya cukup memuji perubahan yang mereka lakukan di album ini. Mike Shinoda, saat membuat album Linkin Park sebelumnya yaitu Minutes To Midnight (2007), telah menyatakan bahwa mereka telah lelah dengan sound yang mereka buat pada dua album pertama mereka. Mungkin fans yang lain kecewa dengan perubahan drastis yang terjadi dari album Meteora ke Minutes to Midnight dan kemudian A Thousand Suns. Tapi, perubahan tersebut bisa dianggap sebagai proses kedewasaan Linkin Park dalam bermusik.
Saya sendiri menganggap album Minutes To Midnight dan A Thousand Suns ini sebagai album-album perubahan dari Linkin Park, di mana mereka lebih membuat sesuatu yang berseni. Di mana Minutes To Midnight sebagai awal perubahan dan kemudian perubahan itu dikembangkan di A Thousand Suns ini.
If Linkin Park said that this is not an album, i dare to say that this is an album and also a piece of art. Well-made and well-crafted album. Way to go Linkin Park!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar